Drama La Liga di Jornada Akhir

Drama, drama dan drama. Sepak bola kerap menyuguhkan pertunjukan yang mirip sinetron, telenovela atau pentas di panggung. Mungkin karena hal itu lah olahraga ini begitu populer di seluruh dunia. Ya, karena sepak bola adalah drama berbungkus olah fisik dan taktik.

Tengok saja perolehan Leicester pada musim ini. Seakan menjadi Cinderella, yang tumbuh menjadi klub yang menarik perhatian ratusan juta orang. Dari klub semenjana, berkembang menjadi pemuncak klasemen Liga Premier. Sangat mustahil dan dekat dengan kebohongan jika ada orang yang mengaku telah memprediksi perjalanan The Foxes musim ini, jauh-jauh hari.

Meski tidak sefenomenal Leicester, FC Barcelona pun sempat merasakan apa yang mereka rasakan. Tidak semagis sentuhan Ranieri atau setragis The Foxes dengan merasakan kasta kedua sih memang. Namun Barca pernah merasakan kemediokeran dan kebangkitan yang Leicester rasakan. Bukan kah itu juga sama, sebuah drama?

Banyak pihak beranggapan jika La Liga adalah liga penuh drama. Opini tersebut kebanyakan dilihat dari pengamatan kala el clasico atau pertandingan-pertandingan yang kontroversi. Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat sih memang, namun jika dilihat perjalanan klub-klub La Liga di liga lokal, di Liga Champions dan di Europa League, maka memang tidak jauh dari kata drama.

Di La Liga sendiri, drama tersaji dengan sangat menarik. Bagaimana kurang dramatis jika pemilihan juara saja ditentukan pada laga pamungkas. Tidak ada yang bisa menentukan siapa pemuncak klasemen dan siapa pecundang, sebelum peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan, sebab setiap kubu memiliki harapan dan keyakinan yang serupa.

Mungkin Barca berada sedikit diatas angin karena unggul satu poin dari Real Madrid. Sementara Real Madrid memiliki keyakinan yang kuat bahwa Barca akan terpeleset. Madridista memegang erat teguh pameo “segalanya bisa saja terjadi di lapangan” untuk kali ini.

Keyakinan madridista ini sebetulnya pernah juga dirasakan cules, yaitu pada musim 2013/14 lalu dengan slogan “Remuntada”. Kala berharap banyak untuk bisa menang di laga pamungkas di Stadion Camp Nou, tim asuhan Tata Martino malah berakhir imbang dengan Atletico Madrid. Jadinya Atleti lah juara La Liga di kandang Barca. Konyolnya, confeti yang telah disiapkan oleh azulgrana urung dipakai dan diberikan ke Eibar yang promosi ke Divisi Primera untuk pertama kalinya. Terlalu percaya diri? Entah. Akan tetapi terkadang keyakinan menghasilkan sebuah delusi dan kekecewaan, jika terlalu percaya diri.

Dalam 30 tahun terakhir, ada beberapa laga yang menyajikan tampilan drama hingga ke jornada akhir. Pada musim 2002/03, Real Madrid hampir tersingkir dari puncak klasemen andai kata Real Sociedad bisa menang melawan Celta Vigo pada jornada 37. Sayangnya, Sociedad kalah 3-2 dari tim tuan rumah, sedangkan Real Madrid menang 0-4 dari Atletico Madrid.

Di musim 1993/94 FC Barcelona mengkudeta posisi pertama klasemen di pekan terakhir dengan mengalahkan Sevilla 5-2. Sedangkan Deportivo La Coruna yang membutuhkan poin kemenangan di laga pamungkas, hanya bisa bermain imbang melawan Valencia 0-0. Dengan hasil ini, Barca langsung naik ke puncak klasemen akhir karena unggul head-to-head meski memiliki jumlah poin yang sama 56 dengan Super Depor.

Real Madrid pun harus merasakan pahitnya disalip di jornada akhir pada musim 1992/93 dengan selisih satu poin dengan Barca. Di pertandingan terakhir, Real Madrid takluk dari Tenerife 2-0. Sedangkan blaugrana sukses menang 1-0 melawan Real Sociedad. Keberhasilan Tenerife tersebut disambut gembira oleh suporter Barca, sampai-sampai tercipta chant yang memuji dan berterima kasih kepada klub asal kepulauan Tenerife karena sukses menjegal Real Madrid menjadi juara untuk kedua kalinya.

Iya, kedua kalinya. Karena di musim sebelumnya, musim 1991/92, Tenerife menjadi pahlawan Los Cules dengan menahan ambisi Real Madrid untuk menjadi juara La Liga dengan membenamkan El Real, 3-2. Hebatnya, Tenerife unggul dua gol dalam waktu kurang dari dua menit, yaitu gol bunuh diri Ricardo Rocha pada menit 77 serta gol dari Pier di menit 78. Padahal Madrid unggul dua gol terlebih dahulu sebelum Tenerife mencetak gol di menit 36. Dengan hasil ini, Barca menyalip Madrid di jornada akhir sehingga menghasilkan selisih poin sebanyak satu diantara keduanya pada jornada 38. Oh iya, Luis Enrique turut bermain di laga terakhir ini dengan menjadi pemain pengganti di menit 59 dan juga di laga terakhir musim 1992/93 melawan tim yang sama, Tenerife.

Jadi, akan kah kembali tercipta sebuah drama ala telenovela di jornada 38 pada akhir pekan nanti? Akan kah Granada menjelma menjadi Tenerife yang pernah sukses menjegal ambisi Real Madrid dengan menghentikan FC Barcelona di laga pamungkas?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *